(oleh Fr. Robertus Moses, CM)

Pengantar

Tema tulisan ini adalah Selibat sebagai Ungkapan Cinta yang Total kepada Allah. Hal yang hendak dibahas dalam tulisan ini adalah mengenai hidup selibat. Hidup selibat kerapkali mengundang pertanyaan bagi banyak orang yang seringkali berujung pada ekspresi keraguan. Nada-nada keraguan yang sering kita dengar antara lain: “Serius? Memang mampu tidak menikah? Udah dipikir masak-masak?, Dan masih banyak lagi nada-nada keraguan yang terungkap.

Nah, dalam tulisan ini penulis mencoba melihat selibat dari sisi lain, yang berangkat dari sebuah optimisme positif penulis bahwa hidup selibat itu indah dan membahagiakan. Mengapa? Karena melaluinya orang dapat mengungkapkan cintanya yang total kepada Allah dan sesama.

Apa itu Hidup Selibat?

Selibat merupakan salah satu jalan hidup yang ditempuh oleh beberapa kelompok manusia di dunia ini. Selibat seringkali dipahami sebagai jalan hidup yang memilih tidak menikah dan tanpa melakukan hubungan seksual[1]. Pengertian semacam ini sepertinya sudah menjadi pemahaman umum dalam masyarakat zaman sekarang. Pemahaman semacam ini tentu tidak keliru, tetapi perlu ditegaskan lebih dalam lagi. Tidak setiap orang yang tidak melakukan hubungan seksual bisa dikatakan begitu saja sebagai selibater.

A.W. Richard Sipe, dalam bukunya Celibacy, menegaskan bahwa selibat tidak dapat dipisahkan dari seksualitas. Selibat sama sekali tidak menolak dan membunuh gairah seksual. Tetapi kaum selibater tidak mempunyai hak untuk melakukan hubungan seksual, seperti halnya suami istri yang sudah menikah. Lebih lanjut ia mengaskan bahwa selibat tidaklah serta merta dapat dikategorikan sebagai fenomena spiritual melulu. Selibat, yang berkomitmen untuk tidak melakukan hubungan seksual demi pelayanan kepada umat seumur hidupnya, juga bisa menjadi fenomena yang alami/natural. Namun demikian, Gereja yakin dan percaya bahwa hidup selibat merupakan cara hidup yang ideal bagi manusia di dunia ini. Ada banyak literatur dan tulisan dari otoritas Gereja yang kerapkali menegaskan hal ini. Almarhum Paus Yohanes Paulus II pernah mengatakan: Continue reading →