Mgr. Isak Doera dalam Buku Kenangan dan Syukur 50 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Sintang
S |
ebagai seorang Administrator Apostolik, tugas Mgr. van den Boorn ialah menyerahkan terna, yaitu nama tiga orang sacerdos, kepada Takhta Apostolik untuk suatu saat dapat diangkat menjadi Uskup Sintang. Mgr van den Boorn mengusulkan nama Romo Isak Doera dan Aloysius Ding, SMM dan bingung memasukan nama ketiga. Tetapi atas saran orang-orang yang dimintai pendapat, akhirnya terna terdiri dari Romo Isak Doera, Pr., Mgr. L. van den Boorn SMM sendiri, yang awalnya tidak mau dimasukkan, dan Pastor Piet Derckx SMM. Romo Isak Doera, yang baru pindah dari Pontianak pada tanggal 2 Mei 1975 dan bertugas sebagai Pastor paroki Katedral Sintang, ditetapkan oleh Paus Paulus VI sebagai Uskup Sintang melalui bulla Quandoquidem praedicare Evangelium Usque ad ultimum terrae est munus Ecclesiae pada tanggal 9 Desember 1976,[1] yang baru diumumkan pada tanggal 2 Februari 1977.
Beliau ditahbiskan oleh Kardinal Yustinus Darmoyuwono, serta co-konsekratornya ialah Mgr. Hieronimus Bumbun, OFM Cap dan Mgr. Vitalis Djebarus, SVD, di Katedral Sintang, pada tanggal 19 Mei 1977. Tanggal ini dipilih Beliau karena tanggal pengangkatannya bersamaan dengan tanggal sang Ibunda kena stroke, sehingga tanggal tahbisan dipilih tanggal sang Ayahnda meningal dunia, enam tahun yang silam. Beliau memilih moto episkopal “Allah Adalah Kasih (1 Yoh 4:16). Setelah mengabdi selama delapan belas tahun sebagai Uskup Sintang, Beliau mengundurkan diri pada tanggal 19 Januari 1996. Kini, sebagai Uskup emeritus, di masa tuanya, Beliau beristirahat di Jakarta sambil melayani umat Allah dan kelompok yang membutuhkan pelayanannya.
Mgr. Isak, yang bernama lengkap Wilhelmus Isak Doera ini, dilahirkan di Jopu, Ende, Flores pada tangal 26 September 1931 dari orangtua: Ibu Clara Maru dan Bapak Mikhael Bhoka, seorang katekis. Menempuh dan menyelesaikan pendidikan di Seminari Menengah Mataloko dan Seminari Tinggi Ritapiret, Beliau ditahbiskan sebagai imam diosesan di Ende melalui penumpangan tangan Mgr. Antonius Theyssen SVD, Uskup Agung Ende. Setelah ditugaskan di berbagai karya pastoral, seperti pastor Paroki, penilik sekolah, anggota DPR, Beliau juga ditugaskan sebagai Pastor Militer yang akhirnya membawa Beliau berkarya di Kesukupan Agung Pontianak. Setelah berkonsultasi dengan Mgr. Herkulanus OFM Cap, karena namanya masuk terna, akhirnya Romo Isak Doera dipindahkan dari keuskupan Pontianak ke keuskupan Sintang pada tanggal 5 Mei 1975 dan diangkat menjadi Pastor Paroki Katedral Sintang.
Melihat betapa Keuskupan Sintang sangat kekurangan tenaga, baik tenaga klerikal, suster maupun katekis dan tenaga awam lainnya untuk karya pastoral, maka berbagai usaha Beliau lakukan untuk mengatasinya. Mengingat Pak Oevang Oeray pernah menyarankan agar mendatangkan guru agama dari Flores, maka Beliau menghubungi Gubernur Kalimantan Barat, Bapak Kadarusno, seorang teman lama di Kodam XII Tanjung Pura, dalam usaha untuk mendatangkan sekitar seribu orang guru SD dari NTT pada tahun 1977. Usaha ini menjadi usaha antara pemerintah Kalbar dengan pemerintah NTT. Mendatangkan guru agama berarti seluruh beban finansial ditanggung keuskupan, tetapi mendatangkan guru biasa untuk Sekolah Dasar yang berstatus pegawai negeri tidak akan membebani keuskupan. Dari sekitar 2.000 orang guru, 1.560 orang beragama Katolik. Di kampung-kampung di pedalaman Kalimantan Barat, di tempat penempatan masing-masing, mereka menjadi tenaga andal Gereja, membantu Pastor dalam membina umat, mengurus liturgi, memimpin ibadat hari Minggu dan ibadat lainnya, dsb. Jasa mereka perlu dicatat dan terima kasih perlu dipersembahkan, karena mereka bekerja seperti seorang katekis walau mereka bukan pegawai atau katekis keuskupan atau paroki. Kehadiran para guru Katolik ini semakin terasa manfaatnya karena pada saat bersamaan datang pula gelombang demi gelombang para transmigran dari Jawa yang hampir semuanya beragama Islam.
Mengingat tenaga imam yang sangat kurang, sejak masa awal menjadi Uskup, Mgr. Isak mendekati provinsial SVD untuk mau bekerja di Keuskupan Sintang. Permintaan ini disanggupi dengan mengirimkan beberapa imam mereka ke Sintang. Tahun 1978 datanglah beberapa imam Soverdi, Pastor Hendrik Rehi Manuk, Pastor Benediktus Raga dan pastor Stefanus Mite. Mereka bekerja dan melayani umat Allah di Merakai dan Senaning. Sayangnya sejak tahun 1996, tidak ada lagi penambahan tenaga, bahkan pada tahun 2001, hanya tersisa satu orang imam SVD yang berkarya di Sintang. Sejak tahun 2009, SVD meninggalkan keuskupan Sintang, walau secara legal, kontrak antara tarekat dan keuskupan belum diputuskan.
Sampai dengan tahun 1979, hanya ada satu tarekat suster yang bekerja di keuskupan Sintang, yaitu SMFA. Mengingat kebutuhan umat yang sangat besar, teristimewa umat yang di kampung-kampung, dan pentingnya kehadiran dan pelayanan para suster, maka Mgr. Isak meminta bantuan para imam Oblat Maria untuk membantunya mencarikan tarekat suster dan Beliau sendiri mendekati pimpinan tarekat Ursulin agar mau bekerja di keuskupan Sintang.
Maka pada tanggal 4 Januari 1980 datanglah lima orang suster Kongregasi Soeurs de la Charite de Sainte Jeanne Antide Thouret (SdC) ke Indonesia. Setelah menyelesaikan kursus bahasa Indonesia di Bandung selama enam bulan, mereka pun tiba di Sintang pada tanggal 10 Mei 1980. Para suster SdC bertugas di Temanang dan Lengkenat, paroki Sepauk, dan di kemudian hari juga di Sintang dan tempat lainnya.
Allah begitu baik dan sungguh penyelenggara umat, karena tahun yang sama, tepatnya pada tanggal 23 Desember 1980, datanglah para suster Ursulin (OSU), yang memilih paroki Nobal sebagai tempat mereka berkarya. Dipelopori oleh Sr. Sri Sunarti, mereka melayani di bidang pastoral dan pembinaan umat. Tahun 1994, suster Ursulin meninggalkan Nobal dan pindah ke Nanga Pinoh.
Di samping menggerakkan umat di bidang pastoral, sosial, politik, dan ekonomi, Beliau juga melihat jauh ke depan dengan mengundang beberapa tarekat klerikal maupun laikal (suster dan bruder) untuk berkarya di Keuskupan Sintang. Beliau juga memikirkan tersedianya tenaga-tenaga imam lokal, yaitu imam-imam diosesan. Kebutuhan akan tenaga imam sangat mendesak dan sayangnya tidak selalu mudah mendapatkan tenaga imam dari tarekat. Karena itu, melalui persetujuan Dewan Imam Keuskupan Sintang pada tahun 1983, maka didirikanlah Seminari Tinggi Betang Batara di Bandung, tempat pendidikan dan pembinaan bagi para frater calon imam dioses Sintang. Betang Batara ditutup pada tahun 2002 dan dipindahkan ke Malang, bergabung dengan para calon imam diosesan dari keuskupan lainnya, yaitu keuskupan Pontianak, Samarinda, Banjarmasin, Sanggau, Palangkaraya, Tanjung Selor, dan Malang.
Seminari Tinggi Betang Batara di Bandung dan Seminari Menengah Sto. Paulus di Mataloko
Mgr. Isak juga memikirkan perlunya tenaga-tenaga imam diosesan untuk melayani umat. Karena itu pada tahun 1973, Beliau mulai mengirimkan calon imam diosesan ke Bandung, untuk studi di Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi, Suryaagung Bumi, di Bandung. Tahbisan perdana lulusan Bandung ialah Vedastus Riky, asal Sejiram. Antara tahun 1973 hingga 1983, ada tujuh frater calon imam diosesan Sintang yang studi di Bandung. Mereka menumpang dan hidup bersama dengan para frater keuskupan Bogor di Seminari Tinggi Sto. Petrus dan Paulus, jln. Suryalaya, Bandung.
Mengingat semakin banyaknya calon yang melamar, maka Mgr. Isak menghubungi Mgr. N. Geise, OFM, Uskup Bogor saat itu, untuk bekerjasama mendirikan seminari tinggi gabungan di Bandung. Tidak berapa lama kemudian, datang pula tawaran dari Mgr. Hieronimus Bumbun, Uskup Agung Pontianak dan Mgr Blasius Pujorahardjo, Uskup Ketapang, untuk bekerjasama mendirikan seminari tinggi di Malang. Tawaran ini tak bisa diterima, karena Mgr. Isak sudah sepakat untuk bekerjasama dengan Mgr. Geise.
Karena hingga awal tahun 1983 rencana ini belum direalisasikan, maka melalui keputusan Dewan Imam pada bulan Juni 1983, Uskup Sintang mendirikan seminari tinggi sendiri di Bandung. Urusan tanah dan bangunan dipercayakan kepada Pastor Frans Vermulen, OSC, Pak Frans Wiryanto Jomo dan arsitek Ibu Rini Sukwandi dari Unpar. Sementara bangunan seminari masih dalam proses pembangunan, para frater dioses Sintang tinggal di sebuah rumah kontrakan di Jln. Windu no. 3, Bandung, di bawah pimpinan Pastor Piet Dercx, SMM, sebagai Rektor pertamanya. Akhirnya berdirilah seminari tinggi di daerah Cikutra Baru, Jln cikutra Baru IV no 8. Para frater akhirnya berpindah ke rumah baru ini pada tanggal 29 September 1984, yang baru diresmikan oleh Mgr. Isak Doera pada tanggal 27 Januari 1985. Melalui sebuah sayembara di Sintang, seminari tinggi ini diberi nama Betang Batara, yang berarti rumah dewa.
Sejak tahun 1990, jumlah frater cukup banyak dan kamar yang ada di Betang Batara sudah tidak mencukupi lagi, sehingga keuskupan memutuskan mengontrak sebuah rumah di jalan Mustafa. Daripada berpindah-pindah rumah kontrak, akhirnya keuskupan membeli rumah bekas kantor akuntansi yang tidak jauh dari Betang Batara. Setelah direnovasi, rumah ini mulai ditempati para frater sejak tanggal 28 Agustus 1993 dan diberi nama Betang Batara II. Selama masa pendidikan, para frater kuliah di Fakultas Filsafat Universitas Parahyangan (Unpar), Bandung, dan sehari-hari bersepeda pergi-pulang antara rumah dan kampus.
Berturut-turut seminari Betang Batara pernah dipimpin oleh Rektor, Romo Piet Dercx, SMM (1984-1988), Romo Paulus Aryono, CM (1988-1999), Romo Hilarius Adoson Paing, CM (1999-2002), Romo Yohanes Pranoto, Pr (2002). Beberapa socius yang pernah berkarya di Betang Batara ialah Romo Evaristus Eko Prasetyo, CM (1994-1995), Romo Antonius Sapta Widada (1995-1997), Romo Herman Yosef Ga I, Pr (2000-2001), Romo Yohanes Pranoto, Pr (2001-2002), Romo Matias Sala, Pr (2002).
Dalam kurun waktu 19 tahun, yaitu hingga ditutup pada tahun 2002 dan dipindahkan ke Malang, Seminari Tinggi Betang Batara di Bandung telah menghasilkan 28 orang imam praja untuk keuskupan Sintang. Buah sulung, imam pertama hasil binaan di Betang Batara ialah Romo Ewaldus, Pr., dan yang terakhir ialah Romo F. X. Pintau, Pr.
Mengingat masih sulit mendapatkan calon-calon frater dari para pemuda asli Kalimantan (Dayak), dan lebih mudah mendapatkan para calon di Flores, maka Mgr. Isak Doera mendirikan Seminari Menengah Sto. Paulus di Mataloko pada tahun 1989. Para seminaris bersekolah di SMA Sto. Tomas, sebuah sekolah swasta setempat dan diberi pendidikan tambahan dan pembinaan di Seminari. Seminari sederhana ini, karena seluruh dinding seminari hanyalah memakai bilahan bambu, dipimpin oleh Rm. Matias Sala, Pr, sejak saat berdiri hingga ditutup pada tahun 2002. Selama masa yang singkat itu, seminari menengah Sto Paulus, Mataloko ini telah menghasilkan sebelas imam untuk dioses Sintang. Buah sulung untuk projo Sintang dari seminari ini ialah, Rm. Patrisius Piki dan buah bungsunya ialah Rm. Nan Kabelen, Pr, dan Rm. Markus Marhusen, Pr. Satu-satunya imam dioses Sintang lulusan seminari menengah di Mataloko yang berasal dari keuskupan Sintang ialah Rm. Andreas Puan, Pr.
|
Setelah melihat mulai ada kemungkinan mendapatkan calon dari putera daerah, maka Beliau membuka Seminari Menengah Sto. Yohanes Maria Vianney di Teluk Menyurai pada tahun 1994 untuk menampung calon-calon frater dari Kalimantan. Kompleks Bina Remaja diubah menjadi kompleks seminari menengah.
Untuk menggerakkan umat hingga di tingkat kampung dan meningkatkan partisipasi mereka agar iman umat dapat lebih berkembang, serta agar hubungan antara iman dan adat tidak terjadi konflik tetapi bersinergi, maka dibentuklah Badan Pengurus Umat Katolik (BAPUK) di setiap paroki dan Pemimpin Umat di semua kampung atau stasi. Saat itu juga diangkat banyak katekis keuskupan dan ditempatkan di paroki-paroki untuk membantu Pastor Paroki dalam kegiatan pastoral, terutama katekese, pembinaan dan liturgi. Pemimpin Umat, BAPUK dan katekis menjadi ujung tombak pembinaan iman karena, dengan sistem turne, sebuah stasi hanya dapat dikunjungi sesekali saja oleh Pastor Paroki.
Sejak awal, Beliau berusaha untuk peduli dengan keadaan politik ekonomi serta pemberdayaan kekuatan dan orang lokal. Usaha untuk membersihkan politik dari praktik ‘kotor’ ternyata sangat berat dan disadari tidaklah cukup hanya dengan kotbah dari altar. Di bidang ekonomi, terutama melalui Delsos, yang saat itu di bawah asuhan pastor Joep van Lier, SMM, diadakan berbagai proyek sosial, pertanian dan juga beasiswa untuk jenjang pendidikan tinggi kepada putera-puteri daerah.
Satu catatan kecil perlu ditulis di sini bahwa semua pastor di Sintang hidup dalam satu rumah yang sama di keuskupan, termasuk para pastor yang bekerja di paroki katedral. Baik para imam diosesan maupun biarawan, SMM, OMI, CM, mereka semua tinggal dalam satu rumah yang sama di keuskupan. Tarekat klerikal yang berkarya di Sintang saat itu belum memiliki rumah biara sendiri. Imam dari berbagai tarekat tinggal serumah tidaklah seindah mimpi. Bukan hanya karena perbedaan karakter sebagai pribadi, tetapi terutama karena berbeda jati diri sebagai biarawan dan imam, tidaklah gampang untuk selalu searah dan seirama dalam hidup sehari-hari.